|
MIRCEA
ELIADE
HAKIKAT
DARI YANG SAKRAL
Riwayat Hidup
Mircea
Eliade merupakan seorang ilmuan lintas budaya. Eliade dilahirkan di Burcharest Rumania
pada tanggal 9 Maret 1907, dan merupakan anak seorang pegawai kemiliteran
Rumania.[1]
Awalnya Eliade memiliki nama Yeremias, namun kemudian diganti namanya menjadi
Eliade oleh ayahnya, karena ayahnya mengagumi penyair bernama Eliade.[2]
Eliade merupakan orang yang sangat menyenangi sains, sejarah dan menulis,
sehingga pada usia ke 18 tahun Eliade
sudah berhasil menerbitkan artikelnya yang keseratus. Pada saat belajar di
Universitas Bucharest dan Italia, Eliade mempelajari pikiran-pikiran mistik
dari tokoh-tokoh renaisans Italia, termasuk pemikiran Hindu yang menitik
beratkan pada kesatuan spiritual dengan Roh Agung (Supreme Soul) di luar dunia ini. Pada tahun 1928 Eliade diterima di
Universitas Calcutta dan dibimbing ilmuan Surendranath Dasgupta. Pada tahun
1933 Eliade menerbitkan novel yang berjudul Maitreyl
(versi Inggris: Bangal Night), yang
berisi cerita kisah cintanya dengan putri Dasgupta. Selain itu, selama menempuh
belajar di India Eliade menemukan tiga hal, yaitu jalan hidup bisa berubah apa
yang disebabkan apa yang dinamakan dengan pengalaman; simbol adalah kunci utama
memasuki kehidupan spiritual; dan semua itu bisa digali dan dipelajari dianak
benua india yang memiliki warisan agama rakyat yang sangat kaya dan teramat
kuat. Pada tahun 1936 Eliade berhasil menyelesaikan program doktoralnya di
Perancis melalui karya disertasinya yang berjudul Yoga: An Essay on the Origins of Indian Mystical Thelogy. Hal ini
menjadikan Eliade diterima bekerja di
Universitas Bucharest, dan diangkat sebagai asisten seorang filosof bernama Nae
Ionesco, yang merupakan pemimpin Organisasi Nasionalis Rumania (Lagion of the Archangel) atau Iron Guard yang memiliki pengaruh
seperti Nazi di Jerman. Kemudian, pada masa Perang Dunia ke II, Eliade diangkat
sebagai diplomat di Lisbon, Portugal. Namun, setelah Perang Dunia ke II, Eliade
menetap di Paris. Pada tahun 1949 Eliade menghasilkan buku berjudul Pattern in Comparative Religion yang
menjelaskan fungsi symbol dalam agama, dan The
Myth of Eternal Return yang menjelaskan konsep historis, sakralitas waktu
dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern. Dimana dalam setiap karya-karya
ini Eliade terinspirasi dari karya Carl Jung yang merupakan ahli psikologi
ternama Swiss. Tahun 1950-an Eliade kembali mengajar di Universitas Chicago,
dan menerima gelar professor dari Divinity School. Kemudian, Eliade wafat pada
tanggal 22 April 1986 karena serangan stroke.[3]
Titik
Tolak Eliade: Dua Aksioma
Dua
askioma merupakan dua ide yang digunakan oleh Eliade sebagai pijakan dalam
menghasilkan teori-teori selanjutnya.
Adapun dua itu, yaitu, pertama, adanya keyakinan Eliade bahwa agama merupakan
sesuatu yang independen atau autonom. Hal ini menjadikan agama tidak hanya
diartikan sebagai produk dari “realitas yang lain”, sehingga agama harus
diposisikan sebagai sesuatu yang konstan (variable independen), sehingga
aspek-aspek kehidupan yang lain seperti sosial, psikologi, ekonomi, harus
bergantung pada agama. Oleh karena itu, fungsi agama dalam kehidupan manusia
adalah sebagai “sebab”, bukan sebagai “akibat”.[4]
Adapun
aksioma yang kedua adalah berkaitan metode yang digunakan dalam menjelaskan hakekat
suatu agama harus menggunakan dua sisi pandang, yaitu history of religion, dan phenomenology.
Hal ini dikarenakan masih banyak peminat agama yang hanya menggunakan cerita
“masa lalu” atau history of religion
mengenai agamanya, seperti mengumpulkan fakta, mengeneralisasikan apa yang
didapat, kemudian mengkritisi dan akhirnya mencoba menemukan sebab dan
akibatnya. Padahal agama bukan hanya memepelajari sejarah tetapi juga
memerlukan adanya studi komparasi yang disebut fenomenologi, yaitu studi
komparasi terhadap sesuatu penampakan yang dimunculkan kepada kita. Dengan
demikian, menurut Eliade tidak ada seseorang yang dapat memahami agamanya
termasuk ritualnya tanpa adanya membandingkan dengan agama lain. Namun, dalam
pengaplikasian fenomenologi ini menurut Eliade harus ada pemisahan antara tempat
dan waktu sejarah tersebut dengan fenomena-fenomena yang terjadi sehingga akan
diperoleh konsep Tuhan pada suatu agama. Misalnya ketika ingin mengetahui
konsep ketuhanan Dewa langit, yaitu Dewa Zeus oleh masyarakat Yunani, maka
harus mengabaikan sisi bahwa Dewa Zeus disembah oleh maysrakat Yunani pada
zaman dulu. Namun, yang harus dilihat adalah adanya fenomena bahwa dewa Zeus
adalah dewa yang kuat diantara lainnya, dan sudah menikah serta tinggal di
bukit Olympus.[5] Hal
ini menjadikan adanya pengetahuan mengenai pola-pola konsep ketuhanan yang
ditetapkan pada masyarakat Yunani, dan tidak dipakai oleh Masyarakat lain yang
mempunyai konsep dewa langit lainnya.
Berdasarkan
dua aksioma tersebut, Eliade kemudian menghasilkan beberapa Teori melalui
ketiga bukunya, yaitu (1) Adanya konsep Eliade mengenai agama yang dijelaskan
dalam bukunya yang berjudul The Sacred
and The Profane (1957); (2) Adanya pemahaman mengenai simbol dan mitos yang
dijelaskan dalam bukunya The Pattern in Comparative Religion (1949);
dan (3) tentang waktu dan sejarah dalam kebudayaan purba dan modern yang
dijelaskan dalam bukunya The Myth of the
Eternal Return (1949). Adapun Uraiannya adalah sebagai berikut:
Yang
Sakral dan Yang Profan
Dalam
karya-karya Eliade, manusia Arkhais merupakan tema yang sering digunakan.
Arkheis merupakan istilah yang digunakan oleh Eliade untuk menggantikan kata
primitif yang sering menimbulkan salah pengertian. Hal ini menunjukkan adanya
tingkah laku orang arkhais bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan
kepercayaan religious mereka berpusat pada masalah-masalah fundamental
kehidupan manusia.[6]
Masyarakat Arkhais adalah masyarakat yang hidup pada zaman pra-sejarah ataupun
masyarakat tribal dengan kebudayaan terbelakang yang hidup saat ini. Dalam
bukunya yang berjudul The Sacred and The
Profane (1957) Eliade mencoba menjelaskan adanya pembagian dua wilayah
kehidupan pada masyarakat Arkhais, yaitu Yang Profan dan Yang Sakral. Eliade
berpendapat bahwa Yang Profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu
hal-hal yang dilakukan secara teratur, acak dan sebenarnya tidak terlalu
penting sehingga mudah hilang, dilupakan atau hanya bayangan, sendangkan Yang
Sakral adalah wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak
mudah dilupakan, dan teramat penting sehingga abadi, penuh substansi, dan
realitas.[7]
Dalam menjelaskan realitas agama yang terjadi pada masyarakat,
Eliade memang menggunakan pendapat Durkheim, mengenai adanya Yang Sakral dan
Yang Profan. Durkheim menjelaskan Yang Sakral dan Yang Profan berdasarkan
kacamata sosial berupa konteks masyarakat, dan kebutuhannya, sehingga menurut
Durkheim yang Sakral adalah masalah sosial yang berkaitan dengan individu, dan
Yang Profan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan-urusan individu.
Namun, Eliade memiliki fokus yang berbeda dengan Durkheim mengenai Yang Sakral
dan Yang Profan pada suatu agama. Hal ini dipengaruhi oleh pendefinisian agama
dari Tylor dan Frezer, yaitu adanya konsep kekuatan supernatural pada suatu
agama. Selain itu, pandangan lain Eliade mengenai sesuatu Yang Sakral dipengaruhi
oleh Rudolf Otto, seorang ahli teologi dan sejarah agama yang berkebangsaan
Perancis. Adapun pandangan Eliade itu mengenai perjumpaan Yang Sakral, yaitu
adanya perasaan menyentuh satu realitas yang belum pernah dikenal sebelumnya,
sebuah dimensi dan eksistensi yang maha kuat,sangat berbeda, dan merupakan
realitas abadi tiada bandingannya. Selain
itu, Eliade juga memberikan konsep kesakralan mengenai ketuhanan yang lebih
luas yang lebih dalam, sehingga dapat berarti kesakralan dari kekuatan-kekuatan
dewa-dewi, arwah para leluhur, dan jiwa-jiwa abadi atau kekuatan dari
kepercayaah Hindu, yaitu “Brahman”, roh suci yang mengatasi segala alam raya.
Adanya kesakralan ini menurut Eliade merupakan bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia.Hal ini menurut Eliade dapat
dilihat pada masyarakat Arkhais yang melihat Yang Sakral lebih dari sekedar
milik umum, tetapi juga bagian yang absolut dan terpenting didalam eksistensi
alam, dan sangat mempengaruhi jalan kehidupan mereka, termasuk dalam menentukan
waktu dan tempat menetap. Misalnya msayarakat Yunani yang kegiatan
sehari-harinya diatur dan didasarkan pada mitos-mitos adanya Phoebus, Apollo,
dan lain-lain. Selain itu, adanya otoritas kesakralan dalam menentukkan tempat
tinggal dimana tempatnya harus memiliki hierophany
(penampakan yang sakral), yaitu harus pernah “dikunjungi” oleh Yang Sakral,
seperti dewa, atau roh nenek moyang, sehingga tempat tersebut mendapatkan
karunia sebagai titik pusat dunia atau cosmos
(sususan segala hal). Mitos-mitos ini
menurut Eliade berperan sebagai pola pikir masyarakat Arkhais yang berfungsi
sebagai standar nilai terhadap apa yang dikagumi dan pola-pola yang disebut sebagai
“Archetypes”, yaitu sesuatu yang
digunakan sebagai acuan sebelum bertindak Sikap-sikap yang berkarakter seperti
ini disebut Eliade sebagai “Nostalgia untuk kembali ke surga firdaus, tempat
yang akan mendekatkan umat manusia kepada Tuhan. Perasaan ini adalah keinginan
untuk masuk kealam yang supernatural.”.[8]
Agama
Arkhais: Simbol dan Mitos
Buku Eliade yang berjudul Paterns in Comparative Religion
merupakan buku yang membahas mengenai simbol dan mitos, yaitu adanya sistem simbol
dan mitos yang memiliki pola konstan dan berulang-ulang mengenai dunia. Hal ini
menjadikan adanya simbol, mitos dan upacara-upacara ritual keagamaan yang
muncul silih berganti dalam peradaban manusia. Selain itu, menurut Eliade
adanya carakerja pada simbol dapat dilihat dengan adanya perubahan segala sesuatu
yang bersifat biasa-biasa saja atau Yang Profan menjadi sesuatu Yang Sakral.
Misalnya sebuah Ka’bah yang diagungkan oleh umat Islam yang sebenarnya hingga
saat ini hanya sebuah batu biasa, tetapi setiap Umat Nabi Muhammad yang beriman
tidak akan berfikir sesederhana itu. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan
umat Islam yang menganggap Ka’bah sudah disentuh oleh sesuatu Yang Sakral, maka
objek Yang Profan ini berubah menjadi sesuatu Yang Sakral. Proses perubahan ini
menurut Eliade disebut sebagai “dialektika Yang Sakral”, yaitu proses
mengalirnya yang supernatural kedalam sesuatu yang natural. Selain itu, menurut
Eliade ada beberapa hal, rasio manusia tidak bertanggung-jawab atas proses
“pertukaran” tersebut. Dengan demikian, adanya mitos dan simbol ini menurut
Eliade menunjukkan adanya Yang Sakral, yaitu bagaimana kehidupan ilahiah yang
bersifat supernatural itu bisa menjadi sangat dekat dengan kehidupan manusia.[9]
Simbolis
Langit: Dewa-Dewa Langit
Adanya
dewa-dewa langit ini, menuruet Eliade menyiratkan adanya transenden dan jarak
dengan apa yang ada “diatas” kita, yaitu sesuatu yang tak terbatas, berkuasa
penuh abadi, dan semua adalah relitas kekuatan. Hal ini menunjukkan adanya
pendeskripsian mengenai dewa yang tinggi dan jauh yang tidak terjangkau oleh
manusia. Munculnya pendeskripsian konsep mengenai dewa ini muncul karena adanya
pengalaman hidup sehari-hari manusia yang pada saat itu hanya mempunyai satu
pekerjaan, misalnya bertani. Hal ini memunculkan adanya konsep Dewa Rudra dalam
kepercayaan Hindu yang dipercayai oleh masyarakat India kuno sebagai dewa
pembawa hujan bagi lahan pertanian. Selain itu, juga adanya konsep Dewa Oluron dalam
kepercayaan suku Yoruba di Afrika, konsep Dewa Dionyos di Yunani, Dewa Osiris
di Mesir, dan lain sebagainya. Dengan demikian, adanya konsep dewa ini menurut
Eliade digunakan sebagai simbol penyelamat yang bisa mendekatkan kehidupan
ilahiah menjadi begitu dekat dengan manusia, sehingga dewa-dewalah yang juga
menentukan hukum, kematian, dan kebangkitan pada manusia.[10]
Matahari
dan Bulan
Adanya
simbolis Bulan menurut Eliade merupakan perlambangan irama kehidupan yang
teratur, sumber kekuatan, kehidupan, dan kelahiran yang menciptakan berbagai
level alam semesta. Selain itu, bulan juga dipandang memiliki dualistis, yaitu
memiliki cahaya dan kegelapan; kelimpahan dan kekurangan; using dan baru;
kelahiran dan kematian; serta laki-laki dan perempuan. Hal ini menurut Eliade menjadikan
munculnya mitos andragony, yaitu
adanya mitos manusia pertama yang dekat dengan dewa yang bukan perempuan
ataupun laki-laki tetapi memiliki kelamin ganda.[11]
Air
dan Bebatuan
Dalam
ritual-ritual imitasi dan pertaubatan, menurut Eliade air berfungsi sebagai
pembersih dan penghapus dosa-dosa yang telah dilakukan, sehingga air akan
mengembalikan kita kedalam wujud asli tanpa dosa. Adapun batu melambangkan
ketidakpastian wujud pada manusia, misalnya sebuah batu biasa tidak akan
berpengaruh dalam diri manusia, tetapi ketika batu itu adalah batu sakral dapat
menimbulkan perasaan takut dan khawatir pada diri manusia.[12]
Tanah
dan Kesuburan; Tumbuh-Tumbuhan dan Pertanian
Menurut eliade, yang sakral bukan hanya awet dan statis
seperti batu, dia juga harus diisi dengan kehidupan seperti layaknya
tumbuh-tumbuhan. Kekuatan yang tiada henti memberi kehidupan baru kepada segala
sesuatu, bukan hanya dalam arti fisik, seperti makanan terhadap tumbuhan, tapi
juga dalam arti spiritual. Secara individu, pesan yang terkandung dalam simbol
tumbuhan adalah janji untuk memperoleh kehidupan abadi. Seperti satu tanaman
yang hidup kembali setelah kematiannya, begitu juga dengan manusia, mungkin
pada suatu saat dia akan dibangkitkan dari kematiannya dan dilahirkan kembali
di alam keabadian. Dari sisi ini Eliade mengungkapkan bahwa kita bisa melihat
arti penting aktifitas ritual untuk bertemu dengan yang sakral. Ritual-ritual
seperti inisiasi, pengampunan, dan penebusan dosa adalah ritual, yang dengan
berbagai dan prosedur, menampilkan kembali proses penciptaan asali, yaitu
penciptaan dunia yang berawal dari chaos dan setelah itu wujud dunia diberikan
oleh para dewa atau wujudnya terbentuk akibat pertempuran antar dewa tersebut.[13]
Struktur
dan Karakter Simbol
Dalam
menjelaskan pemirikiran mengenai simbolis, Eliade memaparkan dua hal pemikiran,
yaitu, mengenai struktur dan karakter dari sebagian besar simbolisme dan
mitologi; dan mengenai masalah hirarki simbol-simbol tersebut, termasuk adanya
simbol yang memiliki nilai diatas simbol yang lain. Dalam hal ini Eliade
menjelaskan melalui salah satunya berdasarkan cerita Firaun Mesir yang
menyatakan jika seseorang yang beriman akan bertemu Tuhannya di Matahari. Hal
ini menjadikan matahari dijadikan simbol ketuhanan di dalam sistem tata surya.
Selain itu, banyak orang yang memikirkan
matahari, mensakralkan tempat, peristiwa, orang dan tempat tertentu yang
menjadi tempat pertemuan dengan Yang Sakral. Kemudian Matahari ini dilambangkan
dengan bunga matahari atau dengan bahan tambang karena memiliki warna dan
cahaya yang dianggap sama. Hal ini menunjukkan adanya hubungan baru mengenai
Yang Sakral didalam aspek kehidupan. Adanya konsep pergantian (replacement) dan kenaikan tingkat (revalorize) dari simbol-simbol ini
menurut Eliade merupakan bentuk cara manusia yang secara continu berusaha
menyatakan persepsi mereka tentang Yang Sakral dalam bentuk yang orisinil,
membuat mitos-mitos baru, menemukan simbol-simbol yang lebih “segar” untuk
dimasukkan kedalam sistem yang lebih luas dan beraneka ragam.[14]
Sejarah
dan Waktu Sakral
Dalam
buku yang berjudul The Myths of the
Eternal Return: Or, Cosmos, and History, Eliade memperkenalkan adanya
konsep “Nostalgia surga firdaus” yang menjadikan masyarakat Arkhais memiliki
keinginan untuk selalu berada dalam Yang Sakral, dan meninggalkan semua
pekerjaan mereka yang bersifat duniawi. Selain itu, adanya berbagai ritual dan
mitos yang ada pada masyarakat merupakan seusuatu yang mengandung
“pengulangan”. Hal ini menurut Eliade dapat ditunjukkan dengan adanya mitos dan
ritual pada saat menjelang pergantian tahun pada maysarakat Arkhias yang mengadakan
pengusiran kambing hitam atau pertobatan agar terhindar dari bencana alam,
wabah dan dosa. Berkaitan dengan waktu sakral. Di sini, Eliade secara singkat
mengupas materi yang ia banyak cakupkan dalam “The Myth of the Eternal
Return”. Seperti pengalaman ruangnya, manusia religius memahami pengalaman
waktu sebagai sakral sekaligus profan. Waktu yang sakral, waktu perayaan,
adalah kembali pada waktu mistis yang mengawali permulaan segala sesuatu,
inilah yang oleh Eliade disebut sebagai “in illo tempore”. Manusia
religius mengharapkan untuk selalu hidup dalam waktu yang kokoh ini. Ini adalah
kehendak untuk “kembali pada kehadiran dewa-dewa, untuk memulihkan kekuatan,
kesegaran dunia sejati yang eksis “in illo tempore”. Selain itu, menurut Eliade pada masyarakat
Arkhais juga mengalami apa yang disebut dengan “teror sejarah”, yang
menggambarkan manusia sangat berhasrat terhadap mitos-mitos, terutama mitos
tentang “kembali kepada keabadian”.[15]
Tantangan
bagi Agama-agama Arkhais: Yahudi dan Kristen
Hampir
di setiap peradaban Arkhais masalah sejarah menjadi isu sentral, dan solusi
dari masalah ini adalah dengan melarikan diri dari sejarah. Dalam setiap
peradaban tersebut selalu ditemukan mitos tentang kembali kepada keabadian.
Pola-pola dari mitos ini sangat beragam, menurut Eliade hanya di satu
kebudayaan kita bisa menemukan sesuatu yang berbeda, yaitu di kalangan Yahudi
Palestina Kuno. Mereka tidak menolak secara keseluruhan ide tentang kembali
kepada keabadian, Yahudi berpendapat bahwa Yang Sakral bisa dijumpai dalam
sejarah maupun di luar sejarah. Dalam tradisi Yahudi yang kemudian diikuti oleh
kristen, ide ketidakbermaknaan lingkaran alam semesta ini ditarik kembali ke
pangkal, dimana manusia saat itu menjadi titik pusat dan mereka dalam garis
sejarah yang penuh makna bersama Yang Sakral, Tuhan bangsa Israel yang
menguasai alam semesta. Penemuan yang spektakuler ini memiliki ciri-ciri
tersendiri, yaitu adanya Nabi-nabi agung, seperti Amos, Isaiah, Jeremiah, dan
lain sebagainya. Di saat umat mereka mendapat, Nabi-nabi tersebut menjelaskan
bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami tersebut bukanlah sesuatu yang harus
ditinggalkan, tapi itu adalah hukuman atau ujian yang harus dijalani di dalam
sejarah sebab semua itu datang dari kehendak Yang Mahakuasa. Nabi-nabi itu menjelaskan
ide-ide ini dalam sabda-sabda mereka. Adanya peristiwa-peristiwa historis ini
memiliki arti tersendiri, sejauh peristiwa tersebut terjadi atas kehendak
Tuhan. Tuhan bangsa Yahudi adalah satu pribadi yang terus menerus berperan
dalam sejarah dengan melibatkan kuasa-Nya ke dalam peristiwa-peristiwa, seperti
penaklukan bangsa lain, peperangan, dan lain-lain. Adanya Perjumpaan seorang
manusia dengan “Pribadi Tuhan Sejarah” ini merupakan hal yang baru dalam
sejarah agama-agama manusia, dan bisa diketahui dalam kisah-kisah Bibel tentang
Nabi Ibrohim sewaktu dia ingin menyembelih anaknya sebagai pengorbanan kepada
Tuhan. Dalam tradisi Yahudi peristiwa ini adalah kisah perjumpaan Ibrahim
dengan Tuhan secara historis merupakan perjanjian personal dia dengan Tuhannya
yang memerintahkan agar menyembelih putranya, peristiwa ini adalah pertanda
iman Ibrohim. Tuhan tidak membutuhkan kurban untuk menambah kekuatannya. Akan
tetapi menguji keikhlasan hati Ibrohim, seandainya nanti datang perintah untuk
berkorban yang lebih berat lagi.[16]
Tantangan
Bagi Agama: Historisisme Modern
Bagi
Eliade berubahnya Judeo-Kristen menjadi agama historis adalah momen yang sangat
penting. Namun peristiwa ini bukanlah satu-satunya proses perubahan dalam agama
yang terjadi di dunia. Revolusi kedua yang barangkali lebih dahsyat yaitu
diterimanya filsafat yang menolak keberadaan nilai Yang Sakral. Para pendukung
pendapat ini mengklaim bahwa semua kepercayaan tersebut tidak ada bedanya dalam
diri seseorang, apakah yang sakral berada di dalam atau di luar sejarah. Alasan
mereka sederhana saja, karena manusia memang tidak butuh itu semua. Yang benar
menurut mereka adalah bahwa tidak ada yang dinamakan dewa dewi, tidak ada
arkhetipe yang sakral yang bisa menunjukkan kepada kita apa tujuan hidup ini.
Kita sekarang mestinya hidup tanpa yang sakral. Eliade mendeskripsikan kredo
sekuler ini dalam bentuk historisisme. Sebuah tipe pemikiran yang hanya
memandang segala sesuatu sabagai hal yang biasa dan profan serta menolah
mentah-mentah hubungan-hubungan dengan yang supranatural dan yang sakral. Para
penganut paham historisisme menyatakan bahwa jika kita ingin yang lebih
signifikan, jika kita ingin mencari tujuan yang lebih bermakna dalam hidup ini,
kita pasti tidak menemukannya dengan mempergunakan cara-cara Arkhais, atau
cara-cara Judeo-Kristen tetapi kita hanya akan menemukannya dalam diri kita
sendiri. Menanggapi hal ini Eliade merupakan salah satu tokoh yang tidak
setuju, hal ini dibuktikan dengan beberapa pertanyaan tentang hal ini,
diantaranya; apakah benar bahwa orang orang ini telah memberikan sesuatu yang
nilainya lebih tinggi dibanding agama Arkhais atau agama Judeo-Kristen,? Dan
masih banyak pertanyaan lainnya lagi. Hal ini membuktikan bahwa Eliade bukanlah
penganut paham historisisme.[17]
Kembalinya
Agama Arkhais
Eliade,
menjelaskan bahwa dalam bentuk apapun, “nostalgia taman firdaus” yang ada dalam
masyarakat Arkhais tidak akan pernah benar-benar hilang.
Analisa
Diantara
sekian banyak pemikirannya, ada tiga poin dari eliade yang benar-benar perlu
kita perhatikan:
- Kritik
terhadap kaum reduksionisme
Eliade
mengakui bahwa faktor psikologis, sosial, dan ekonomi berperan penting dalam
agama, tapi dia menolak pendapat yang mengatakan agama tergantung pada
faktor-faktor tersebut, apalagi sampai mendominasi agama. Menurut dia, agama
bisa dipahami jika kita mencoba menilik agama tersebut dari sudut pandang
pemeluknya.
- Komparasi
menyeluruh
Aspek
lain dari teori yang ditawarkan oleh eliade adalah keluasan dan disainnya yang
amat ambisius. Dia tidak hanya seorang kritikus yang mencoba mengumpulkan data
dari sumber yang amat kaya, dari berbagai tempat dan kurun waktu, tapi ia juga
lebih ambisius bila dibandingkan dengan teoritikus lain. Dia sangat serius
dalam usahanya untuk menjadi seorang sejarawan sekaligu seorang fenomenolog.
Dia berupaya keras memahami agama secara komprehensif dalam setiap aspeknya.
- Pertentangan
filosofis kontemporer
Eliade
adalah orang yang sangat jujur dalam argumennya bahwa ilmuan dan kaum
intelektual zaman modern ini telah salah mengerti tentang nilai-nilai
psikologis pemikiran arkhais, padahal pemikiran ini telah mendukung perjuangan
manusia dalam berbagai sejarah peradaban.
Daftar
Pustaka
Pals, Daniel L.. 2012. Seven Theories Of Religion, -Cet. 2.
Jogjakarta: IRCiSoD
Susanto, Hary. 1987. Mitos
Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius
[1] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, -Cet. 2,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 226
[2] Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, (Yogyakarta: Kanisius,
1987), hlm. 14
[3] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion..., hlm. 227-230
[4] Ibid., hlm. 230-231
[5] Ibid., hlm. 231-232
[6] Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade…, hlm. 43
[7] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion..., hlm. 233
[8] Ibid., hlm. 233-241
[9] Ibid., hlm 241-244
[10] Ibid., hlm. 244-146
[11] Ibid., hlm. 246-248
[12] Ibid., hlm. 248-249
[13] Ibid., hlm. 249-251
[14] Ibid., hlm. 251-256
[15] Ibid., hlm. 256-259
[16] Ibid., hlm. 259-261
[17] Ibid., hlm. 261-265
Tidak ada komentar:
Posting Komentar