Selasa, 14 Juni 2016

MIRCEA ELIADE HAKIKAT DARI YANG SAKRAL





... To try to grasp the essence of such a phenomenon by means of physiology,
psychology, sociology, economics, linguistics, art, or any other study is false;
 it misses the one unique and irreducible element in it—the element of the sacred.
(Mircea Eliade;1963; xiii)

MIRCEA ELIADE
HAKIKAT DARI YANG SAKRAL

Riwayat Hidup
Mircea Eliade merupakan seorang ilmuan lintas budaya. Eliade dilahirkan di Burcharest Rumania pada tanggal 9 Maret 1907, dan merupakan anak seorang pegawai kemiliteran Rumania.[1] Awalnya Eliade memiliki nama Yeremias, namun kemudian diganti namanya menjadi Eliade oleh ayahnya, karena ayahnya mengagumi penyair bernama Eliade.[2] Eliade merupakan orang yang sangat menyenangi sains, sejarah dan menulis, sehingga pada usia ke 18 tahun  Eliade sudah berhasil menerbitkan artikelnya yang keseratus. Pada saat belajar di Universitas Bucharest dan Italia, Eliade mempelajari pikiran-pikiran mistik dari tokoh-tokoh renaisans Italia, termasuk pemikiran Hindu yang menitik beratkan pada kesatuan spiritual dengan Roh Agung (Supreme Soul) di luar dunia ini. Pada tahun 1928 Eliade diterima di Universitas Calcutta dan dibimbing ilmuan Surendranath Dasgupta. Pada tahun 1933 Eliade menerbitkan novel yang berjudul Maitreyl (versi Inggris: Bangal Night), yang berisi cerita kisah cintanya dengan putri Dasgupta. Selain itu, selama menempuh belajar di India Eliade menemukan tiga hal, yaitu jalan hidup bisa berubah apa yang disebabkan apa yang dinamakan dengan pengalaman; simbol adalah kunci utama memasuki kehidupan spiritual; dan semua itu bisa digali dan dipelajari dianak benua india yang memiliki warisan agama rakyat yang sangat kaya dan teramat kuat. Pada tahun 1936 Eliade berhasil menyelesaikan program doktoralnya di Perancis melalui karya disertasinya yang berjudul Yoga: An Essay on the Origins of Indian Mystical Thelogy. Hal ini menjadikan Eliade  diterima bekerja di Universitas Bucharest, dan diangkat sebagai asisten seorang filosof bernama Nae Ionesco, yang merupakan pemimpin Organisasi Nasionalis Rumania (Lagion of the Archangel) atau Iron Guard yang memiliki pengaruh seperti Nazi di Jerman. Kemudian, pada masa Perang Dunia ke II, Eliade diangkat sebagai diplomat di Lisbon, Portugal. Namun, setelah Perang Dunia ke II, Eliade menetap di Paris. Pada tahun 1949 Eliade menghasilkan buku berjudul Pattern in Comparative Religion yang menjelaskan fungsi symbol dalam agama, dan The Myth of Eternal Return yang menjelaskan konsep historis, sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern. Dimana dalam setiap karya-karya ini Eliade terinspirasi dari karya Carl Jung yang merupakan ahli psikologi ternama Swiss. Tahun 1950-an Eliade kembali mengajar di Universitas Chicago, dan menerima gelar professor dari Divinity School. Kemudian, Eliade wafat pada tanggal 22 April 1986 karena serangan stroke.[3]
Titik Tolak Eliade: Dua Aksioma
Dua askioma merupakan dua ide yang digunakan oleh Eliade sebagai pijakan dalam menghasilkan teori-teori  selanjutnya. Adapun dua itu, yaitu, pertama, adanya keyakinan Eliade bahwa agama merupakan sesuatu yang independen atau autonom. Hal ini menjadikan agama tidak hanya diartikan sebagai produk dari “realitas yang lain”, sehingga agama harus diposisikan sebagai sesuatu yang konstan (variable independen), sehingga aspek-aspek kehidupan yang lain seperti sosial, psikologi, ekonomi, harus bergantung pada agama. Oleh karena itu, fungsi agama dalam kehidupan manusia adalah sebagai “sebab”, bukan sebagai “akibat”.[4]
Adapun aksioma yang kedua adalah berkaitan metode yang digunakan dalam menjelaskan hakekat suatu agama harus menggunakan dua sisi pandang, yaitu history of religion, dan phenomenology. Hal ini dikarenakan masih banyak peminat agama yang hanya menggunakan cerita “masa lalu” atau history of religion mengenai agamanya, seperti mengumpulkan fakta, mengeneralisasikan apa yang didapat, kemudian mengkritisi dan akhirnya mencoba menemukan sebab dan akibatnya. Padahal agama bukan hanya memepelajari sejarah tetapi juga memerlukan adanya studi komparasi yang disebut fenomenologi, yaitu studi komparasi terhadap sesuatu penampakan yang dimunculkan kepada kita. Dengan demikian, menurut Eliade tidak ada seseorang yang dapat memahami agamanya termasuk ritualnya tanpa adanya membandingkan dengan agama lain. Namun, dalam pengaplikasian fenomenologi ini menurut Eliade harus ada pemisahan antara tempat dan waktu sejarah tersebut dengan fenomena-fenomena yang terjadi sehingga akan diperoleh konsep Tuhan pada suatu agama. Misalnya ketika ingin mengetahui konsep ketuhanan Dewa langit, yaitu Dewa Zeus oleh masyarakat Yunani, maka harus mengabaikan sisi bahwa Dewa Zeus disembah oleh maysrakat Yunani pada zaman dulu. Namun, yang harus dilihat adalah adanya fenomena bahwa dewa Zeus adalah dewa yang kuat diantara lainnya, dan sudah menikah serta tinggal di bukit Olympus.[5] Hal ini menjadikan adanya pengetahuan mengenai pola-pola konsep ketuhanan yang ditetapkan pada masyarakat Yunani, dan tidak dipakai oleh Masyarakat lain yang mempunyai konsep dewa langit lainnya.
Berdasarkan dua aksioma tersebut, Eliade kemudian menghasilkan beberapa Teori melalui ketiga bukunya, yaitu (1) Adanya konsep Eliade mengenai agama yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul The Sacred and The Profane (1957); (2) Adanya pemahaman mengenai simbol dan mitos yang dijelaskan dalam bukunya The  Pattern in Comparative Religion (1949); dan (3) tentang waktu dan sejarah dalam kebudayaan purba dan modern yang dijelaskan dalam bukunya The Myth of the Eternal Return (1949). Adapun Uraiannya adalah sebagai berikut:
Yang Sakral dan Yang Profan
Dalam karya-karya Eliade, manusia Arkhais merupakan tema yang sering digunakan. Arkheis merupakan istilah yang digunakan oleh Eliade untuk menggantikan kata primitif yang sering menimbulkan salah pengertian. Hal ini menunjukkan adanya tingkah laku orang arkhais bersifat eksistensial, artinya praktek-praktek dan kepercayaan religious mereka berpusat pada masalah-masalah fundamental kehidupan manusia.[6] Masyarakat Arkhais adalah masyarakat yang hidup pada zaman pra-sejarah ataupun masyarakat tribal dengan kebudayaan terbelakang yang hidup saat ini. Dalam bukunya yang berjudul The Sacred and The Profane (1957) Eliade mencoba menjelaskan adanya pembagian dua wilayah kehidupan pada masyarakat Arkhais, yaitu Yang Profan dan Yang Sakral. Eliade berpendapat bahwa Yang Profan adalah bidang kehidupan sehari-hari, yaitu hal-hal yang dilakukan secara teratur, acak dan sebenarnya tidak terlalu penting sehingga mudah hilang, dilupakan atau hanya bayangan, sendangkan Yang Sakral adalah wilayah yang supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan, dan teramat penting sehingga abadi, penuh substansi, dan realitas.[7]
            Dalam menjelaskan realitas agama yang terjadi pada masyarakat, Eliade memang menggunakan pendapat Durkheim, mengenai adanya Yang Sakral dan Yang Profan. Durkheim menjelaskan Yang Sakral dan Yang Profan berdasarkan kacamata sosial berupa konteks masyarakat, dan kebutuhannya, sehingga menurut Durkheim yang Sakral adalah masalah sosial yang berkaitan dengan individu, dan Yang Profan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan-urusan individu. Namun, Eliade memiliki fokus yang berbeda dengan Durkheim mengenai Yang Sakral dan Yang Profan pada suatu agama. Hal ini dipengaruhi oleh pendefinisian agama dari Tylor dan Frezer, yaitu adanya konsep kekuatan supernatural pada suatu agama. Selain itu, pandangan lain Eliade mengenai sesuatu Yang Sakral dipengaruhi oleh Rudolf Otto, seorang ahli teologi dan sejarah agama yang berkebangsaan Perancis. Adapun pandangan Eliade itu mengenai perjumpaan Yang Sakral, yaitu adanya perasaan menyentuh satu realitas yang belum pernah dikenal sebelumnya, sebuah dimensi dan eksistensi yang maha kuat,sangat berbeda, dan merupakan realitas  abadi tiada bandingannya. Selain itu, Eliade juga memberikan konsep kesakralan mengenai ketuhanan yang lebih luas yang lebih dalam, sehingga dapat berarti kesakralan dari kekuatan-kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur, dan jiwa-jiwa abadi atau kekuatan dari kepercayaah Hindu, yaitu “Brahman”, roh suci yang mengatasi segala alam raya. Adanya kesakralan ini menurut Eliade merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia.Hal ini menurut Eliade dapat dilihat pada masyarakat Arkhais yang melihat Yang Sakral lebih dari sekedar milik umum, tetapi juga bagian yang absolut dan terpenting didalam eksistensi alam, dan sangat mempengaruhi jalan kehidupan mereka, termasuk dalam menentukan waktu dan tempat menetap. Misalnya msayarakat Yunani yang kegiatan sehari-harinya diatur dan didasarkan pada mitos-mitos adanya Phoebus, Apollo, dan lain-lain. Selain itu, adanya otoritas kesakralan dalam menentukkan tempat tinggal dimana tempatnya harus memiliki hierophany (penampakan yang sakral), yaitu harus pernah “dikunjungi” oleh Yang Sakral, seperti dewa, atau roh nenek moyang, sehingga tempat tersebut mendapatkan karunia sebagai titik pusat dunia atau cosmos (sususan segala hal).  Mitos-mitos ini menurut Eliade berperan sebagai pola pikir masyarakat Arkhais yang berfungsi sebagai standar nilai terhadap apa yang dikagumi dan pola-pola yang disebut sebagai “Archetypes”, yaitu sesuatu yang digunakan sebagai acuan sebelum bertindak Sikap-sikap yang berkarakter seperti ini disebut Eliade sebagai “Nostalgia untuk kembali ke surga firdaus, tempat yang akan mendekatkan umat manusia kepada Tuhan. Perasaan ini adalah keinginan untuk masuk kealam yang supernatural.”.[8]
Agama Arkhais: Simbol dan Mitos
            Buku Eliade yang berjudul Paterns in Comparative Religion merupakan buku yang membahas mengenai simbol dan mitos, yaitu adanya sistem simbol dan mitos yang memiliki pola konstan dan berulang-ulang mengenai dunia. Hal ini menjadikan adanya simbol, mitos dan upacara-upacara ritual keagamaan yang muncul silih berganti dalam peradaban manusia. Selain itu, menurut Eliade adanya carakerja pada simbol dapat dilihat dengan adanya perubahan segala sesuatu yang bersifat biasa-biasa saja atau Yang Profan menjadi sesuatu Yang Sakral. Misalnya sebuah Ka’bah yang diagungkan oleh umat Islam yang sebenarnya hingga saat ini hanya sebuah batu biasa, tetapi setiap Umat Nabi Muhammad yang beriman tidak akan berfikir sesederhana itu. Hal ini dikarenakan adanya kepercayaan umat Islam yang menganggap Ka’bah sudah disentuh oleh sesuatu Yang Sakral, maka objek Yang Profan ini berubah menjadi sesuatu Yang Sakral. Proses perubahan ini menurut Eliade disebut sebagai “dialektika Yang Sakral”, yaitu proses mengalirnya yang supernatural kedalam sesuatu yang natural. Selain itu, menurut Eliade ada beberapa hal, rasio manusia tidak bertanggung-jawab atas proses “pertukaran” tersebut. Dengan demikian, adanya mitos dan simbol ini menurut Eliade menunjukkan adanya Yang Sakral, yaitu bagaimana kehidupan ilahiah yang bersifat supernatural itu bisa menjadi sangat dekat dengan kehidupan manusia.[9]
Simbolis Langit: Dewa-Dewa Langit
Adanya dewa-dewa langit ini, menuruet Eliade menyiratkan adanya transenden dan jarak dengan apa yang ada “diatas” kita, yaitu sesuatu yang tak terbatas, berkuasa penuh abadi, dan semua adalah relitas kekuatan. Hal ini menunjukkan adanya pendeskripsian mengenai dewa yang tinggi dan jauh yang tidak terjangkau oleh manusia. Munculnya pendeskripsian konsep mengenai dewa ini muncul karena adanya pengalaman hidup sehari-hari manusia yang pada saat itu hanya mempunyai satu pekerjaan, misalnya bertani. Hal ini memunculkan adanya konsep Dewa Rudra dalam kepercayaan Hindu yang dipercayai oleh masyarakat India kuno sebagai dewa pembawa hujan bagi lahan pertanian. Selain itu, juga adanya konsep Dewa Oluron dalam kepercayaan suku Yoruba di Afrika, konsep Dewa Dionyos di Yunani, Dewa Osiris di Mesir, dan lain sebagainya. Dengan demikian, adanya konsep dewa ini menurut Eliade digunakan sebagai simbol penyelamat yang bisa mendekatkan kehidupan ilahiah menjadi begitu dekat dengan manusia, sehingga dewa-dewalah yang juga menentukan hukum, kematian, dan kebangkitan pada manusia.[10]
Matahari dan Bulan
Adanya simbolis Bulan menurut Eliade merupakan perlambangan irama kehidupan yang teratur, sumber kekuatan, kehidupan, dan kelahiran yang menciptakan berbagai level alam semesta. Selain itu, bulan juga dipandang memiliki dualistis, yaitu memiliki cahaya dan kegelapan; kelimpahan dan kekurangan; using dan baru; kelahiran dan kematian; serta laki-laki dan perempuan. Hal ini menurut Eliade menjadikan munculnya mitos andragony, yaitu adanya mitos manusia pertama yang dekat dengan dewa yang bukan perempuan ataupun laki-laki tetapi memiliki kelamin ganda.[11]
Air dan Bebatuan
Dalam ritual-ritual imitasi dan pertaubatan, menurut Eliade air berfungsi sebagai pembersih dan penghapus dosa-dosa yang telah dilakukan, sehingga air akan mengembalikan kita kedalam wujud asli tanpa dosa. Adapun batu melambangkan ketidakpastian wujud pada manusia, misalnya sebuah batu biasa tidak akan berpengaruh dalam diri manusia, tetapi ketika batu itu adalah batu sakral dapat menimbulkan perasaan takut dan khawatir pada diri manusia.[12]
Tanah dan Kesuburan; Tumbuh-Tumbuhan dan Pertanian
            Menurut eliade, yang sakral bukan hanya awet dan statis seperti batu, dia juga harus diisi dengan kehidupan seperti layaknya tumbuh-tumbuhan. Kekuatan yang tiada henti memberi kehidupan baru kepada segala sesuatu, bukan hanya dalam arti fisik, seperti makanan terhadap tumbuhan, tapi juga dalam arti spiritual. Secara individu, pesan yang terkandung dalam simbol tumbuhan adalah janji untuk memperoleh kehidupan abadi. Seperti satu tanaman yang hidup kembali setelah kematiannya, begitu juga dengan manusia, mungkin pada suatu saat dia akan dibangkitkan dari kematiannya dan dilahirkan kembali di alam keabadian. Dari sisi ini Eliade mengungkapkan bahwa kita bisa melihat arti penting aktifitas ritual untuk bertemu dengan yang sakral. Ritual-ritual seperti inisiasi, pengampunan, dan penebusan dosa adalah ritual, yang dengan berbagai dan prosedur, menampilkan kembali proses penciptaan asali, yaitu penciptaan dunia yang berawal dari chaos dan setelah itu wujud dunia diberikan oleh para dewa atau wujudnya terbentuk akibat pertempuran antar dewa tersebut.[13]

Struktur dan Karakter Simbol
Dalam menjelaskan pemirikiran mengenai simbolis, Eliade memaparkan dua hal pemikiran, yaitu, mengenai struktur dan karakter dari sebagian besar simbolisme dan mitologi; dan mengenai masalah hirarki simbol-simbol tersebut, termasuk adanya simbol yang memiliki nilai diatas simbol yang lain. Dalam hal ini Eliade menjelaskan melalui salah satunya berdasarkan cerita Firaun Mesir yang menyatakan jika seseorang yang beriman akan bertemu Tuhannya di Matahari. Hal ini menjadikan matahari dijadikan simbol ketuhanan di dalam sistem tata surya. Selain itu,  banyak orang yang memikirkan matahari, mensakralkan tempat, peristiwa, orang dan tempat tertentu yang menjadi tempat pertemuan dengan Yang Sakral. Kemudian Matahari ini dilambangkan dengan bunga matahari atau dengan bahan tambang karena memiliki warna dan cahaya yang dianggap sama. Hal ini menunjukkan adanya hubungan baru mengenai Yang Sakral didalam aspek kehidupan. Adanya konsep pergantian (replacement) dan kenaikan tingkat (revalorize) dari simbol-simbol ini menurut Eliade merupakan bentuk cara manusia yang secara continu berusaha menyatakan persepsi mereka tentang Yang Sakral dalam bentuk yang orisinil, membuat mitos-mitos baru, menemukan simbol-simbol yang lebih “segar” untuk dimasukkan kedalam sistem yang lebih luas dan beraneka ragam.[14]
Sejarah dan Waktu Sakral
Dalam buku yang berjudul The Myths of the Eternal Return: Or, Cosmos, and History, Eliade memperkenalkan adanya konsep “Nostalgia surga firdaus” yang menjadikan masyarakat Arkhais memiliki keinginan untuk selalu berada dalam Yang Sakral, dan meninggalkan semua pekerjaan mereka yang bersifat duniawi. Selain itu, adanya berbagai ritual dan mitos yang ada pada masyarakat merupakan seusuatu yang mengandung “pengulangan”. Hal ini menurut Eliade dapat ditunjukkan dengan adanya mitos dan ritual pada saat menjelang pergantian tahun pada maysarakat Arkhias yang mengadakan pengusiran kambing hitam atau pertobatan agar terhindar dari bencana alam, wabah dan dosa. Berkaitan dengan waktu sakral. Di sini, Eliade secara singkat mengupas materi yang ia banyak cakupkan dalam “The Myth of the Eternal Return”. Seperti pengalaman ruangnya, manusia religius memahami pengalaman waktu sebagai sakral sekaligus profan. Waktu yang sakral, waktu perayaan, adalah kembali pada waktu mistis yang mengawali permulaan segala sesuatu, inilah yang oleh Eliade disebut sebagai “in illo tempore”. Manusia religius mengharapkan untuk selalu hidup dalam waktu yang kokoh ini. Ini adalah kehendak untuk “kembali pada kehadiran dewa-dewa, untuk memulihkan kekuatan, kesegaran dunia sejati yang eksis “in illo tempore”. Selain itu, menurut Eliade pada masyarakat Arkhais juga mengalami apa yang disebut dengan “teror sejarah”, yang menggambarkan manusia sangat berhasrat terhadap mitos-mitos, terutama mitos tentang “kembali kepada keabadian”.[15]

Tantangan bagi Agama-agama Arkhais: Yahudi dan Kristen
Hampir di setiap peradaban Arkhais masalah sejarah menjadi isu sentral, dan solusi dari masalah ini adalah dengan melarikan diri dari sejarah. Dalam setiap peradaban tersebut selalu ditemukan mitos tentang kembali kepada keabadian. Pola-pola dari mitos ini sangat beragam, menurut Eliade hanya di satu kebudayaan kita bisa menemukan sesuatu yang berbeda, yaitu di kalangan Yahudi Palestina Kuno. Mereka tidak menolak secara keseluruhan ide tentang kembali kepada keabadian, Yahudi berpendapat bahwa Yang Sakral bisa dijumpai dalam sejarah maupun di luar sejarah. Dalam tradisi Yahudi yang kemudian diikuti oleh kristen, ide ketidakbermaknaan lingkaran alam semesta ini ditarik kembali ke pangkal, dimana manusia saat itu menjadi titik pusat dan mereka dalam garis sejarah yang penuh makna bersama Yang Sakral, Tuhan bangsa Israel yang menguasai alam semesta. Penemuan yang spektakuler ini memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu adanya Nabi-nabi agung, seperti Amos, Isaiah, Jeremiah, dan lain sebagainya. Di saat umat mereka mendapat, Nabi-nabi tersebut menjelaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami tersebut bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan, tapi itu adalah hukuman atau ujian yang harus dijalani di dalam sejarah sebab semua itu datang dari kehendak Yang Mahakuasa. Nabi-nabi itu menjelaskan ide-ide ini dalam sabda-sabda mereka. Adanya peristiwa-peristiwa historis ini memiliki arti tersendiri, sejauh peristiwa tersebut terjadi atas kehendak Tuhan. Tuhan bangsa Yahudi adalah satu pribadi yang terus menerus berperan dalam sejarah dengan melibatkan kuasa-Nya ke dalam peristiwa-peristiwa, seperti penaklukan bangsa lain, peperangan, dan lain-lain. Adanya Perjumpaan seorang manusia dengan “Pribadi Tuhan Sejarah” ini merupakan hal yang baru dalam sejarah agama-agama manusia, dan bisa diketahui dalam kisah-kisah Bibel tentang Nabi Ibrohim sewaktu dia ingin menyembelih anaknya sebagai pengorbanan kepada Tuhan. Dalam tradisi Yahudi peristiwa ini adalah kisah perjumpaan Ibrahim dengan Tuhan secara historis merupakan perjanjian personal dia dengan Tuhannya yang memerintahkan agar menyembelih putranya, peristiwa ini adalah pertanda iman Ibrohim. Tuhan tidak membutuhkan kurban untuk menambah kekuatannya. Akan tetapi menguji keikhlasan hati Ibrohim, seandainya nanti datang perintah untuk berkorban yang lebih berat lagi.[16]
Tantangan Bagi Agama: Historisisme Modern
Bagi Eliade berubahnya Judeo-Kristen menjadi agama historis adalah momen yang sangat penting. Namun peristiwa ini bukanlah satu-satunya proses perubahan dalam agama yang terjadi di dunia. Revolusi kedua yang barangkali lebih dahsyat yaitu diterimanya filsafat yang menolak keberadaan nilai Yang Sakral. Para pendukung pendapat ini mengklaim bahwa semua kepercayaan tersebut tidak ada bedanya dalam diri seseorang, apakah yang sakral berada di dalam atau di luar sejarah. Alasan mereka sederhana saja, karena manusia memang tidak butuh itu semua. Yang benar menurut mereka adalah bahwa tidak ada yang dinamakan dewa dewi, tidak ada arkhetipe yang sakral yang bisa menunjukkan kepada kita apa tujuan hidup ini. Kita sekarang mestinya hidup tanpa yang sakral. Eliade mendeskripsikan kredo sekuler ini dalam bentuk historisisme. Sebuah tipe pemikiran yang hanya memandang segala sesuatu sabagai hal yang biasa dan profan serta menolah mentah-mentah hubungan-hubungan dengan yang supranatural dan yang sakral. Para penganut paham historisisme menyatakan bahwa jika kita ingin yang lebih signifikan, jika kita ingin mencari tujuan yang lebih bermakna dalam hidup ini, kita pasti tidak menemukannya dengan mempergunakan cara-cara Arkhais, atau cara-cara Judeo-Kristen tetapi kita hanya akan menemukannya dalam diri kita sendiri. Menanggapi hal ini Eliade merupakan salah satu tokoh yang tidak setuju, hal ini dibuktikan dengan beberapa pertanyaan tentang hal ini, diantaranya; apakah benar bahwa orang orang ini telah memberikan sesuatu yang nilainya lebih tinggi dibanding agama Arkhais atau agama Judeo-Kristen,? Dan masih banyak pertanyaan lainnya lagi. Hal ini membuktikan bahwa Eliade bukanlah penganut paham historisisme.[17]
Kembalinya Agama Arkhais
Eliade, menjelaskan bahwa dalam bentuk apapun, “nostalgia taman firdaus” yang ada dalam masyarakat Arkhais tidak akan pernah benar-benar hilang.
Analisa
Diantara sekian banyak pemikirannya, ada tiga poin dari eliade yang benar-benar perlu kita perhatikan:
  1. Kritik terhadap kaum reduksionisme
Eliade mengakui bahwa faktor psikologis, sosial, dan ekonomi berperan penting dalam agama, tapi dia menolak pendapat yang mengatakan agama tergantung pada faktor-faktor tersebut, apalagi sampai mendominasi agama. Menurut dia, agama bisa dipahami jika kita mencoba menilik agama tersebut dari sudut pandang pemeluknya.
  1. Komparasi menyeluruh
Aspek lain dari teori yang ditawarkan oleh eliade adalah keluasan dan disainnya yang amat ambisius. Dia tidak hanya seorang kritikus yang mencoba mengumpulkan data dari sumber yang amat kaya, dari berbagai tempat dan kurun waktu, tapi ia juga lebih ambisius bila dibandingkan dengan teoritikus lain. Dia sangat serius dalam usahanya untuk menjadi seorang sejarawan sekaligu seorang fenomenolog. Dia berupaya keras memahami agama secara komprehensif dalam setiap aspeknya.


  1. Pertentangan filosofis kontemporer
Eliade adalah orang yang sangat jujur dalam argumennya bahwa ilmuan dan kaum intelektual zaman modern ini telah salah mengerti tentang nilai-nilai psikologis pemikiran arkhais, padahal pemikiran ini telah mendukung perjuangan manusia dalam berbagai sejarah peradaban.

Daftar Pustaka
Pals, Daniel L.. 2012. Seven Theories Of Religion, -Cet. 2. Jogjakarta: IRCiSoD
Susanto, Hary.  1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius




[1] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion, -Cet. 2, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 226
[2] Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 14
[3] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion..., hlm. 227-230
[4] Ibid., hlm. 230-231
[5] Ibid., hlm. 231-232
[6] Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade…, hlm. 43
[7] Daniel L. Pals, Seven Theories Of Religion..., hlm. 233
[8] Ibid., hlm. 233-241
[9] Ibid., hlm 241-244
[10] Ibid., hlm. 244-146
[11] Ibid., hlm. 246-248
[12] Ibid., hlm. 248-249
[13] Ibid., hlm. 249-251
[14] Ibid., hlm. 251-256
[15] Ibid., hlm. 256-259
[16] Ibid., hlm. 259-261
[17] Ibid., hlm. 261-265

Tidak ada komentar:

Posting Komentar